Industri Otomotif Masuk Resesi: Pajak Terlalu Tinggi, Daya Beli Rendah

PORTALTERKINI, Jakarta – Industri mobil Indonesia dikatakan telah memasuki area resesi karena penjualan kemudi terus menurun selama dua tahun.

Para peneliti dari Institut Investigasi Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM UI) mengatakan bahwa Riyanto, sebagaimana didefinisikan, terjadi ketika kondisi ekonomi turun untuk dua lingkungan berturut -turut (atau lebih), disertai dengan melemahkan indikator ekonomi lainnya.

“Jadi industri mobil tidak hanya dua perempat, tetapi telah menjadi resesi selama dua tahun. Ini adalah nama resesi. Industri mobil sebenarnya telah mengalami resesi jika berdasarkan definisi,” Riyanto menjelaskan dalam diskusi tentang forum jurnalis industri (5/23/2025).

Mengacu pada data Gaikindo, penjualan mobil telah mencapai 1,04 juta unit pada tahun 2022, tetapi terus jatuh dalam dua tahun terakhir menjadi 865.723 unit pada tahun 2024.

Sementara itu, penjualan pedagang grosir pada Januari-April 2025 dicatat pada 256.368 unit, atau penurunan setiap tahun. Akibatnya, Riyanto memprediksi penjualan Carchairs pada akhir 2025 akan turun 11% menjadi sekitar 770.000 unit.

“Sekarang kami memperkirakan bahwa 2025 sekarang jika Anda menggunakan penjualan pada bulan April atau empat bulan, dikalikan dengan tiga hanya dalam 12 bulan. Sekitar akhir tahun, 11%Ra. 2024 hingga 865 ribu mungkin 770 ribu. Ini sama liniernya,” jelasnya.

Menurutnya, penyebab industri mobil lambat sebagai akibat dari beban mobil sangat tinggi, seperti Pajak Lalu Lintas (PPNBM), nama Kendaraan Bermotor Refseace (BBNKB), Pajak Kendaraan Bermotor (PDB) dan Pajak Pajak Peningkatan (PPN). Di sisi lain, daya beli orang lebih melemah.

Selain itu, pajak naik di berbagai daerah tahun ini, jadi Riyanto mengatakan keadaan industri mobil saat ini ‘jatuh di tangga’ seperti mengatakan.

Dia mengatakan pemerintah harus secara permanen menyelidiki pengurangan pajak mobil baru, atau memiliki insentif pajak untuk mengurangi harga jual. Stimulus DTP PPNBM, misalnya, seperti pada periode Pandemi Covid-19.

“Dalam jangka pendek, kebijakan pajak diperlukan, seperti selama pandemi, apakah itu pengurangan PPN atau PPNBM untuk menyelamatkan industri dari krisis. Yang paling penting adalah jatuh dari kendaraan,” katanya.

Dalam jangka panjang, pemerintah harus melakukan penyelidikan dalam jangka panjang untuk menemukan tarif pajak yang ideal dalam hal industri dan negara. Jangan mengizinkan industri dan masyarakat untuk mengenakan pajak yang sekarang 40% lebih. Tingkat ini harus dikurangi.

Dia menganggap bahwa pemerintah tidak harus takut kalah ketika memberikan insentif pajak untuk industri mobil. Karena dampak ekonomi dari stimulan ini sangat besar. 

Telriyanto, menentukan rangsangan 0% PPNBM dapat menyumbangkan 0,8% PDB dan pekerjaan tambahan pada 23 ribu dan dalam perekonomian (efek pengganda) dari 47 ribu orang. Penjualan mobil baru hampir diatasi oleh Malaysia

Gaikindo mengungkapkan fakta bahwa pajak kendaraan yang sangat tinggi menghasilkan penjualan mobil di Indonesia, hampir diikuti oleh Malaysia.

Sekretaris Jenderal Gaikindo Kukuh Kumara mengatakan bahwa penjualan mobil di Republik Indonesia berjumlah 865.723 unit pada tahun 2024, dengan bagian dari pasar 28%di ASEAN. Sementara itu, penjualan mobil di Malaysia menembus 816.747 unit, dengan sebagian dari pasar 26%.

Faktanya, populasi Malaysia hanya 30,7 juta pada tahun 2024, jauh dari populasi di Indonesia, yang 281,6 juta tahun lalu.

Akibatnya, Gaikindo berharap bahwa penjualan mobil Indonesia tidak akan dikalahkan oleh Malaysia, karena populasi Republik Indonesia dapat menjadi pasar yang mungkin bagi industri mobil.

“Mudah -mudahan bukan [penjualan mobil baru di Malaysia]. Semoga karena populasinya 280 juta, itu mungkin, bagaimana memantau. Kami telah mencapai 1 juta unit, kami harus membawanya kembali ke angka itu,” kata Kukuh dalam acara yang sama.

Salah satu faktor penyebab, menurut Kukuh, adalah karena pemerintah Malaysia telah mempertahankan dukungan kebijakan di industri mobil sejak periode Pandemi Covid-19. 

“Kami mencoba menemukan, Malaysia, yang lebih dari 30 juta populasi, adalah pasar untuk mencapai 800.000? Nah, informasi yang kami terima dari rekan -rekan kami di Malaysia, tampaknya politik dapat dilestarikan pada saat pandemi,” katanya.

Selain itu, ia mengatakan pajak pajak pada kendaraan Indonesia jauh lebih tinggi daripada Malaysia. Akibatnya, beban tinggi merupakan penghalang untuk penjualan mobil di Indonesia.

“Di Indonesia mobil berasal dari pabrik, misalnya, harganya Rp100 juta, segera setelah mencapai konsumen untuk membayarnya pada Rp150 juta. Ya, 50 juta RP adalah pajak. Ini adalah salah satu hambatan di AS,” katanya.

Sebagai perbandingan, Kukuh mengatakan, misalnya untuk mobil tipe Avanza 1.5L di Malaysia, pajak kendaraan bermotor atau PDB jika dikonversi menjadi Rupiah hanya dengan Rp385.000. Sementara itu, Avanza PKB bernilai 4 juta RP di Indonesia.

Sementara itu, nama terbalik (BBN) di Malaysia juga hanya dikenakan RP. 500.000 dibandingkan dengan Indonesia, yaitu RP2 juta. Malaysia juga tidak mengharuskan warganya untuk melakukan perpanjangan pajak 5 tahun, sementara itu wajib di Indonesia.

“Inilah yang saya coba bandingkan. Saya hanya mengambil contoh, misalnya, model Avanza, di Malaysia pajak tahunan tidak lebih dari RP1 juta, sementara itu bisa dalam RP6 juta. Jadi Anda bisa membayangkan itu tidak buruk,” jelasnya.

Akibatnya, menurut Kukuh, pemerintah harus menerima insentif jangka panjang untuk mendukung industri mobil, serta meningkatkan daya beli rakyat Indonesia. ASEAN 2024 Data Penjualan Mobil:

1. Indonesia: 865.723 unit

2. Malaysia: 816.747 unit

3. Thailand: 562.954 unit

4. Filipina: 467.253 unit

5. Vietnam: 340.142 unit

6. Singapura: 52.828 unit

Periksa berita dan artikel lain di Google News dan Wa -Akanaal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *